Selasa, 27 Maret 2012

Dasar Penyembahan


(Oleh: Pdt. Robi Panggarra, M.Th.)
Menurut John Mac Arthur, “Penyembahan bukanlah masalah pilihan.  Dalam Matius 4:10, ketika Yesus menanggapi pencobaan Iblis, Yesus mengutip Ulangan 6:13, ‘Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!’  Dengan berkata demikian kepada Iblis, Ia memerintahkan kepada setiap makhluk yang telah diciptakan.  Semua bertanggung jawab untuk menyembah Allah.[1]
Dari kutipan di atas terlihat dengan jelas bagaimana penyembahan tidak dapat diabaikan ataupun diremehkan dalam kehidupan setiap umat manusia yang ada di bumi ini.  Hal tersebut merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar.  Iblis dalam hal ini mencoba memberi penawaran yang berbeda kepada Yesus, namun jawaban Yesus yang tegas merupakan informasi yangt cukup bagi setiap makhluk ciptaan bahwa ada perintah untuk menyembah hanya kepada Allah saja.  Perintah inilah yang menjadi dasar dalam penyembahan kepada Allah.
Dasar yang kedua penyembahan kepada Allah ialah bahwa Allah adalah pencipta segala yang ada di dunia ini (Kejadian 1).  Karena Allah menciptakan segala sesuatu, maka segala sesuatu itu memiliki tanggung jawab moral kepada Sang Pencipta, yaitu menyembah.  Rasa syukur yang melimpah mewarnai hati penyembah-penyembah dalam hal ini, oleh karena apa yang Allah telah lakukan dan kerjakan.
Dasar yang ketiga bagi penyembahan adalah penebusan.  Sebagai orang-orang yang telah jatuh ke dalam dosa, hanya penghukuman yang layak untuk diterimanya.  Paulus secara  tegas mengatakan hal itu dalam Roma 6:23a, “Sebab upah dosa adalah maut.”  Namun, karya Allah melalui Yesus Kristus yang datang ke dalam dunia ini untuk mencari dan menyelamatkan yang terhilang telah mengubah ketakutan terhadap ayat tersebut.  Penebusan yang dikerjakan oleh Yesus dengan memberikan nyawa-Nya di atas kayu salib, telah menggantikan maut menjadi kehidupan kekal.  Oleh karena itu, sebagai orang-orang yang telah ditebus oleh Yesus sendiri, maka  ada ikatan baru yang harus disadari yaitu bahwa setiap orang yang telah ditebus menjadi milik dari penebusnya.  Bagian penting dari hal ini adalah bahwa penbusan itu telah menghasilkan umat yang menyembah.[2]


[1] John Mac Arthur, Prioritas Utama Dalam Penyembahan (Bandung: Kalam Hidup, n.d.), 37.
[2] Ibid, 37.

Selasa, 20 Maret 2012

Mengapa Allah Senang Disembah?

(Oleh: Pdt.Robi Panggarra, M.Th.)

Pertanyaan ini tidak dimaksudkan sebagai retorika belaka, namun ada hal penting yang dapat tersingkap tentang penyembahan kepada Allah melalui pertanyaan ini. Jika melihat kembali kepada Perjanjian Lama, Allah menyebut diri-Nya sebagai cemburuan atau pencemburu (Keluaran 20:5). Hal ini tentu beralasan karena dalam dunia Perjanjian Lama pada waktu itu, ada begitu banyak sesembahan yang juga disebut sebagai allah bagi pengikutnya (suku bangsa lain disekitar Kanaan). Oleh karena itu, ada awasan bagi Israel untuk tidak menyembah kepada allah-allah lain yang disembah oleh bangsa-bangsa lain di sekitar Israel.

Allah memperkenalkan diri-Nya kepada bangsa Israel sebagai YHWH, agar di dalam Israel memanggil Allah bukan saja sebagai istilah yang umum, melainkan memiliki makna yang khusus. YHWH menunjukkan diri-Nya sebagai yang ada di tengah-tengah umat-Nya, yang menyertai, kuat, berdaulat, dan tidak ada yang seperti Dia. Bahwa Dialah TUHAN, dan sesungguhnya tidak ada yang lain. Musa mengingatkan orang Israel akan hal ini, dalam Ulangan 6:4 “Dengarlah hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa.” Ayat ini dilanjutkan dengan ayat 5, “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Maksud dari semuanya bahwa penyembahan itu bersifat total kepada TUHAN, dan tidak boleh dibagi kepada dewa-dewa, atau apapun yang disebut bangsa yang lain sebagai allah mereka.

Allah menginginkan agar Dia saja yang disembah oleh seluruh umat manusia, oleh karena hanya Dialah yang layak menerima segala penyembahan. Demikian ada penegasan bahwa Dialah TUHAN, sehingga penyembahan membuat Dia benar-benar ada pada tempat yang sewajarnya. Hal ini kembali singkron dengan Hukum Pertama, agar jangan ada Allah lain di hadapan-Nya.

A.W. Tozer menegaskan bahwa: “God desires to take us deeper into Himself … He wants to lead us on in our love for Him who first love us.”1 (A.W. Tozer, Whatever Happened to Worship (Pennsylvania: Christian Publications, 1985), 26.) Jelas sekali bahwa Allah ingin agar ada hubungan yang erat antara diri-Nya dengan umat-Nya. Ia ingin agar umat-Nya mengasihi Dia, sebagaimana Ia telah mengasihi umat-Nya terlebih dahulu. Kasih yang diharapkan di sini memiliki arti yang luas, yakni penghormatan yang tinggi serta kesiapan untuk melayani atau menaati Dia di dalam seluruh aspek kehidupan. Sehingga dapat dipahami bahwa Allah sungguh-sungguh disenangkan dengan umat yang memuji dan menyembah di hadapan-Nya. Ia tidak menginginkan banyak hal dari umat-Nya atau menciptakan mereka untuk sesuatu yang lain dari pada menjadi makhluk yang memuliakan Dia.

Hal itu kembali ditegaskan oleh Ronald Allen dan Gordon Borror dalam bukunya Worship: Rediscovering the Missing Jewel, dengan mengatakan: “God actively seeks true worshipers.”2 (Ronald Allen and Gordon Borror, Worship: Rediscovering the Missing Jewel (Oregon: Multnomah Press, 1982), 33.) Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Yesus dalam percakapan-Nya dengan seorang perempuan Samaria dalam Injil Yohanes 4.

Bagaimanapun Allah senang disembah oleh umat-Nya, oleh karena itu Ia selalu mencari penyembah-penyembah yang benar. Penyembah yang benar mengakui keberadaan Allah yang tinggi, berkuasa, pencipta, serta yang menyatakan kepada dunia tentang Dia yang mengatur dan menopang alam semesta ini.

Rabu, 14 Maret 2012

Respon Allah Terhadap Penyembahan Umat-Nya


(Oleh: Pdt. Robi Panggarra, M.Th.)
Penyembahan Perjanjian Lama merupakan contoh yang sangat menarik untuk dikaji dalam hal bagaimana Allah menanggapi umat-Nya dalam penyembahan.  Dimulai dari Adam dan Hawa, penyembahan yang terlihat dalam komunikasi yang harmonis antara Allah dengan manusia senantiasa memperlihatkan persekutuan yang indah.  Kemudian pada generasi kedua, Kain dan Habel menambahkan bentuk yang khusus, yakni memberi korban berupa persembahan materi (Kejadian 4:1-16).  Dalam pengalaman itu Allah berkenan kepada persembahan Habel dan menolak persembahan Kain.  Menurut John Mac Arthur, “Satu-satunya pokok yang  dominan dalam kisah Habel adalah bahwa ia penyembah yang benar; ia menyembah menurut kehendak Allah, dan korbannya diterima oleh Allah.”[1]  Lalu seterusnya sampai kepada Abraham menunjukkan penyembahan dengan ketaatan yang total, lalu berujung kepada Allah memberkatinya.  Jika diperhatikan dalam perjalanan umat Perjanjian Lama, penyembahan dikaitkan dengan tindakan kehadiran Allah dan pada waktu sama Ia juga memberkati umat-Nya.  Sebaliknya ketika mereka berubah setia dan tidak menyembah TUHAN, maka mereka akan ditinggalkan atau dikutuk dengan mengalami penderitaan-penderitaan ataupun kegagalan demi kegagalan.
Banyak pengalaman yang diceritakan oleh Alkitab tentang orang-orang yang diberkati oleh Allah karena kesetiaan mereka dalam menyembah Allah.  Beberapa diantaranya adalah:
Pertama, Abraham.  Abraham yang sebelumnya bernama Abram diberkati menjadi bangsa yang besar, kemasyuran, serta menjadi berkat bagi segala kaum oleh karena keputusannya untuk menaati panggilan Allah dalam kehidupannya.  Jika membaca dengan teliti bagian cerita ini, maka ada hal yang kelihatan mustahil untuk memenuhi janji Tuhan bagi dia dalam hal menjadi bangsa yang besar, oleh karena sampai istrinya Sara mati haid mereka bahkan belum mendapatkan anak sebagai buah pernikahan mereka.  Akan tetapi, Allah menunjukkan kuasan-Nya dengan membuat Sara hamil dalam masa seperti itu, sehingga segala yang dijanjikan-Nya kepada Abraham akhirnya terpenuhi (Kejadian 12-21).
Kedua, Nuh.  Kisah Nuh yang diceritakan dalam Kitab Kejadian 6-9 merupakan kisah yang selalu mengesankan tentang bagaimana Nuh mendapat perlakuan yang khusus dari Allah.  Ketika Allah menghukum bumi dengan air bah, hanya Nuh bersama keluarganya yang selamat.  Akan tetapi perlu juga diingat bahwa “Ia mengabdikan seratus dua puluh tahun untuk membangun bahtera.  Itulah hasil kerja dari iman.”[2]
Ketiga, Yusuf.  Cerita tentang perjalanan hidup Yusuf merupakan inspirasi yang hebat.  Seorang yang dijual saudara-saudaranya untuk menjadi budak, ternyata dalam tangan Tuhan menjadi berhasil bahkan menjadi pemimpin yang akhirnya dipakai oleh Tuhan untuk menyelamatkan keluarganya, termasuk saudara-saudaranya yang sebelumnya telah menjual dia.
Pengalaman kehadiran Allah di tengah-tengah Israel membawa mereka kepada kekayaan rohani, sehingga Allah menjadi dikenal dengan berbagai gelar (Generic Name) oleh karena kehadiran-Nya dalam situasi yang berbeda-beda untuk menunjukkan rahmat-Nya kepada umat penyembah-Nya.


[1] John Mac Arthur, Prioritas Utama Dalam Penyembahan (Bandung: Kalam Hidup, n.d.), 31.
[2] Ibid.

Selasa, 13 Maret 2012

Penyembahan

(Oleh: Pdt. Robi Panggarra, M.Th.)
 
Secara etimologi, ada beberapa kata yang digunakan untuk penyembahan dalam Alkitab, seperti yang dikutip oleh Sadhu Sundar Selvaraj dalam bukunya:
Sahah (Ibrani) berarti menyembah, meniarapkan diri, membungkuk (Kejadian 37:7, 9, 10, 12; Imamat 26:1).  Kata ini pun berarti merundukkan (membungkukkan) badan, menjatuhkan diri, memohon dengan rendah hati, melakukan penyembahan.  Kata ini secara spesifik dipakai untuk mengartikan: bersujud, bertiarap, sebagai suatu tindakan penghormatan di hadapan seorang yang mulia.  Sahah digunakan sebagai suatu istilah yang umum untuk datang di hadapan Allah dalam penyembahan (Keluaran 34:8; I Samuel 15:25; Yeremia 7:2).  Proskuneo (Yunani) berarti penyembahan; melakukan penghormatan kepada; mencium (seperti seekor anjing yang menjilati tangan tuannya).  Kata ini diterjemahkan sebagai penyembahan sebanyak 60 kali.  Definisi yang lebih luas lagi dari kata ini adalah mencium tangan sebagai bukti penghormatan; berlutut dan dengan dahi menyentuh tanah sebagai suatu ekspresi yang sangat menghormati; menyembah dengan berlutut; atau bertiarap untuk melakukan penghormatan atau penyembahan, entah itu untuk mengekspresikan rasa hormat atau membuat suatu permohonan kepada Allah.  Sebomai (Yunani) berarti memuja-menekankan perasaan kagum atau ketaatan.  Latreuo (Yunani) berarti melayani, menyembah.  Arti yang luas adalah menyembah Allah dengan taat dalam setiap upacara yang diadakan untuk menyembah Dia: dalam hal para imam untuk memimpin, untuk melaksanakan suatu jabatan yang suci.  Eusebo (Yunani) berarti bertindak dengan saleh atau hormat kepada Allah.[1]

Selain beberapa istilah di atas, masih ada juga istilah lain yang sering digunakan dalam Alkitab untuk penyembahan.  “Kata yang paling umum untuk penyembahan dalam Perjanjian Lama adalah kata Ibrani Hawah.  Bentuk aslinya adalah histahawah, yang artinya bow down (bersujud), to pay homage (memberi penghormatan), dan worship (menyembah).”[2]
Dari beberapa kata kutipan di atas yang digunakan untuk penyembahan dalam Alkitab, dapat disimpulkan bahwa penyembahan adalah sikap merendahkan diri dihadapan Allah yang dapat ditunjukkan dengan cara: membungkuk, bersujud, bertiarap dengan tujuan memberikan penghormatan, menyembah, atau memohon kepada Allah sebagai yang layak serta yang agung mengatasi ciptaan-Nya.
Beberapa pengertian tentang penyembahan juga dijelaskan oleh Ronald Allen dan John Mac Arthur dalam bukunya masing-masing, yaitu:
Pertama, “Worship is an active response to God whereby declare His worth.”[3]
Kedua, “Worship means “to attribute worth” to something or someone.”[4]
Ketiga, “Penyembahan adalah penghormatan dan pemujaan yang ditujukan kepada Allah.”[5]
Keempat, “Penyembahan adalah memberi kepada Tuhan dan menuntut seumur hidup untuk memberi kepada Dia korban yang dimintanya: diri kita secara total.”[6]
Dari sekian banyak catatan tentang penyembahan, terlihat kesamaan dalam beberapa hal, seperti: adanya penghormatan, tanggapan, pemberian kepada yang disebut berkuasa yakni Tuhan.  Sehingga dapat dikatakan bahwa penyembahan adalah sebuah tanggapan hati orang percaya kepada Allah, yang diikuti oleh sikap hormat kepada-Nya dengan memberikan persembahan yang layak bagi Dia.
Baik secara etimologi maupun epistimologi, terlihat persamaan yang khas menunjuk kepada penyembahan yaitu pemberian bagi Tuhan.  Dalam konsep Israel, menyembah merupakan pekerjaan yang mereka lakukan sebagaimana pekerjaan lain.  Hal itu terlihat dari pengasingan suku Lewi menjadi kelompok yang melayani di rumah Allah secara khusus dan tidak boleh mengabaikan tugas itu demi pekerjaan yang lain (Imamat 8-9).  Dengan kata lain, itu adalah pekerjaan suku Lewi turun-temurun.  Mereka bekerja untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan bait Allah setap hari.



[1] Sadhu Sundar Selvaraj, Seni Menyembah: Menjadi Penyembah Yang Dicari Tuhan (Jakarta: Nafiri Gabriel, 1996), 39-40.
[2] Djohan E. Handojo, The Fire of Praise and Worship: 7 Langkah Menjaga Api Pujian dan Penyembahan Tetap Menyala (Yogyakarta: ANDI, 2007), 12.
[3] Ronald Allen and Gordon Borror, Worship: Rediscovering the Missing Jewel (Oregon: Multnomah Press, 1982), 16.
[4] Ibid.
[5] John Mac Arthur, Prioritas Utama Dalam Penyembahan (Bandung: Kalam Hidup, n.d.), 26.
[6] Bob Sorge, Mengungkap Segi-Segi Pujian dan Penyembahan: Bimbingan praktis untuk memahami, mendalami serta mempraktikkan pujian dan penyembahan yang hidup di tengah ibadah (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2002), 51.

Senin, 12 Maret 2012

Komunikasi Penggembalaan


(Oleh: Pdt Robi Panggarra, M.Th.)
Pada umumnya komunikasi terdiri dari 2 bentuk, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.  Akan tetapi, apabila dilihat dari cara, tujuan, atau pun alat yang digunakan untuk berkomunikasi, maka komunikasi dapat memiliki ragam yang lebih banyak lagi.
Dalam kaitannya dengan komunikasi penggembalaan, kedua bentuk komunikasi tersebut di atas, merupakan bentuk dasar dari semua bentuk komunikasi dalam penggembalaan.  Untuk itu penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
1.      Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal merupakan komunikasi di mana “Pesan telah ditempatkan ke dalam suatu kode bahasa.”Oleh karena itu, di dalam komunikasi verbal, suara dan bahasa menjadi tekanan utama.  Audiens akan mendengar atau tidak, sangat ditentukan oleh bahasa dan suara speakernya.  Hal ini merupakan sesuatu yang serius, dan tidak boleh dianggap remeh secara khusus dalam komunikasi verbal.  Tidak heran bahwa, Kevin Daley berkata dalam bukunya: “Dosa terbesar yang dapat dilakukan oleh seorang pembicara adalah membuat bosan pendengarnya.”2  Kata dosa dalam kutipan ini tentu tidak harus dimaknai secara teologis, namun lebih kepada tekanan betapa pentingnya komunikasi verbal untuk menyampaikan pesan pembicara.
Dalam penggembalaan jemaat, anggota jemaat merupakan target komunikasi dari setiap pembicara atau gembala.  Gembala harus berusaha mempertahankan konsentrasi mereka dalam setiap pertemuan apa pun, agar tujuan komunikasi dapat tercapai dengan maksimal sesuai dengan inti pesan dari apa yang ingin disampaikan.  Oleh karena itu, komunikasi verbal harus dibuat dan disusun sedemikian rupa agar menghasilkan kesan yang terencana bagi setiap orang yang mendengarnya.  Perlu diingat bahwa cerita yang sama sekalipun jika dibawakan oleh pembicara yang berbeda dapat menimbulkan kesan yang berbeda pula bagi para pendengarnya.
2.      Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah sebuah bentuk komunikasi yang mengirim pesan lewat simbol-simbol atau isyarat-isyarat tertentu.  Hal ini dapat berupa bahasa tubuh (Body Language) misalnya: gerakan tangan, gerakan kepala, senyuman, atau pandangan mata.  Komponen-komponen ini tidak dapat diabaikan dalam komunikasi, bahkan pesan dari simbol-simbol ini kadang-kadang lebih tegas dari apa yang diucapkan secara langsung.  Larry King sebagai seorang ahli komunikasi berkata: “Bahasa tubuh sama halnya dengan bahasa lisan.”3  Maksudnya adalah jika bahasa verbal dipelajari secara intensif dengan berbagai bentuk yang khusus, maka bahasa nonverbal juga haruslah demikian adanya.  Gerakan tubuh yang tidak karuan/tidak terencana, hanya akan mengganggu komunikasi yang seharusnya berlangsung dengan baik.  Memang gerakan-gerakan itu perlu terlihat oleh audiens sebagai sesuatu yang spontan, namun sebaiknya merupakan sesuatu yang terencana pada pihak pembicara.  Latihan akan menjadi penting, supaya gerakan yang terencana itu tidak terkesan dibuat-buat, kaku, dan seolah-olah dihafalkan.  Hal tersebut harusnya menjadi ekspresi tekanan dari apa yang dikomunikasikan secara verbal.
Bentuk-Bentuk Komunikasi Penggembalaan
Secara praktis, ada beberapa bentuk komunikasi yang dapat dilakukan dalam penggembalaan.  Bentuk-bentuk komunikasi tersebut dilakukan secara berbeda oleh karena adanya beberapa hal yang patut dipertimbangkan, seperti: berapa banyak orang yang menjadi lawan bicara atau yang mendengar pembicara, apa yang ingin dicapai dari komunikasi itu, serta kapan hal itu dilaksakan.
1.      Komunikasi Pribadi (Personal Communication)4
Komunikasi pribadi merupakan salah satu bentuk komunikasi yang umumnya ditemukan dalam penggembalaan.  Komunikasi pribadi tersebut dapat berupa komunikasi intra personal yang berupa seni dalam mendengar diri sendiri, suara hati, atau menemukan kehendak Tuhan dalam visi; serta komunikasi inter personal yang adalah bentuk komunikasi pribadi dari seseorang kepada seseorang yang lain.
Keduanya merupakan kebutuhan yang penting dalam dunia penggembalaan.  Misalnya: saat teduh pribadi, dan doa pribadi seorang gembala, serta juga dalam melakukan konseling penggembalaan.  Koneseling adalah bentuk komunikasi pribadi yang sangat dibutuhkan dalam pelayanan penggembalaan, dan mungkin dapat dikatakan bahwa hal tersebut adalah cara terbaik untuk menemukan permasalahan jemaat secara spesifik dan mengetahui dengan jelas apa yang menjadi kebutuhan mereka.  Oleh karena itu, ketrampilan seorang gembala dalam komunikasi pribadi akan sangat menentukan keberhasilannya dalam mengembangkan jemaat yang digembalakan.
2.      Komunikasi Kelompok (Group Communication)5
Penggembalaan juga tidak dapat dilepaskan dari komunikasi kelompok.  Hal ini terjadi karena adanya ibadah raya Minggu yang melibatkan seluruh anggota jemaat (komunikasi kelompok besar).  Hanya saja, berbeda dengan komunikasi inter pribadi seperti konseling, komunikasi dalam ibadah raya terjadi secara monolog.  Keterbatasan ini harus diperhatikan oleh seorang gembala, bagaimana ia menciptakan/atau merencanakan khotbah yang tetap menarik dan yang dapat menyampaikan pesan dengan baik, sekalipun tidak mendapat interaksi langsung.  Karena itu, kemampuan untuk membaca bahasa nonverbal dari jemaat merupakan hal yang sangat penting dalam menjaga keefektifan komunikasi kelompok dalam ibadah raya.
Seiring dengan kebutuhan tersebut, ada bentuk komunikasi kelompok yang lebih kecil, seperti kelompok PA, Cell Group, dll, yang mana dalam kelompok-kelompok tersebut terjadi komunikasi yang multi arah.  Hal tersebut membuat adanya kemungkinan untuk saling pengertian yang lebih baik.  Mungkin itu sebabnya kelompok kecil menjadi kunci keberhasilan gereja Korea yang dipimpin oleh Cho Yonggi, termasuk juga beberapa gereja di Indonesia yang menerapkan sistem kelompok kecil.
3.      Komunikasi Massa (Mass Communication)6
Seiring dengan kemajuan teknologi, gereja juga tidak tinggal diam dalam upaya peningkatan kualitas penggembalaan dengan menggunakan sarana-sarana komunikasi modern yang mungkin dulunya tidak dikenal dan digunakan oleh gereja.  Pemanfaatan fasilitas seperti: majalah, koran, TV, radio, jaringan internet, dsb juga telah menjadi sarana komunikasi penggembalaan akhir-akhir ini.
Kesibukan masyarakat perkotaan dan situasi kehidupan perkotaan sering menjadi alasan beberapa orang untuk tidak menghadiri ibadah hari Minggu.  Namun, dengan sarana komunikasi massa melalui media komunikasi, mengakibatkan adanya kemudahan dalam memperoleh informasi firman Tuhan, meskipun tidak harus bertatap muka secara langsung dengan pembicara (hal ini tidak dianjurkan).  Oleh sebab itu, bagi mereka yang terpanggil menjadi gembala sidang di zaman yang begitu maju dengan IPTEK, perlu memperhatikan dan mengikuti kemajuan itu sehingga tidak  dianggap GAPTEK (Gagap Teknologi), tetapi sebaliknya dapat memahami perkembangan teknologi untuk menjadi lebih efektif dalam melaksanakan tugas penggembalaan.

Andnote:
1David J. Hesselgrave, Communicating Christ Cross-Culturally (Malang: SAAT, 2005), 44.
2Kevin Daley, Speaking Mastering (Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2005), 29.
3Larry King, Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 21.

4Peter Anggu, Catatan Kuliah: Komunikasi Pastoral (Makassar: STTJ, Maret 2008).
5Ibid.
6Ibid.

Kamis, 08 Maret 2012

Berubah: Kunci Untuk Mencapai Impian

(Oleh:Pdt. Robi Panggarra, M.Th.)
Baca: Filipi 3:4b-11
Perubahan (change) bukan saja menjadi tujuan agama sama seperti yang telah dialami oleh Paulus, tetapi juga merupakan tujuan pendidikan.
Perubahan ini sangat penting, karena menentukan hasil atau pencapaian.  Hasil/pencapaian ini sering disebut sebagai visi atau pun mimpi.  Oleh karena itu, hal kecil yang sering menjadi awal mula perubahan hidup adalah impian.  Tetapi bagaimana mungkin seseorang akan mewujudkan impian, jika ia tidak memiliki impian.
Namun demikian impian bukanlah segalanya, melainkan baru bersifat awal atau permulaan.  Oleh karena itu, ada banyak orang yang dulu berkata kepada saya bahwa ia memiliki mimpi begini dan begitu, tetapi sampai sekarang keadaannya masih saja sama alias tidak menjadi begini ataupun begitu.
Hal ini penting untuk dipahami bahwa untuk mencapai sebuah impian, diperlukan satu kata yakni perubahan/change.  Pertanyaannya ialah jika kita membutuhkan perubahan untuk mencapai perubahan hidup, mengapa banyak orang tidak mau berubah?

Beberapa alasan ialah (dikutip dari tulisan Budi, Jejak cerita kita):
1.        Perubahan tidak selalu mengenakkan
Contoh: Kalau anda biasa menggunakan tangan kanan, coba sekarang gunakan tangan kiri. Tidak nyaman kan?
2.        Perubahan adalah sebuah proses yang penuh pengorbanan
Contoh: Kupu-kupu yang indah.  Dia perlu mengalami perubahan dari bentuk kepompong dan bentuk ulat.  Jika tidak, maka ia tidak akan pernah menjadi kupu-kupu yang indah.
Perlu waktu, ketekunan dan kesabaran
3.        Perubahan dapat menjadi sumber konflik baru.
Saya pernah memelihara beberapa ekor ikan patin dan seekor anjing kecil jenis teqel di rumah.  Waktu saya baru mengambilnya istri saya mulai berkomentar: siapa yang akan mengurusnya, anjing itu akan buat kotor dan berbahaya untuk anak.  Tetapi anda tahu apa yang kemudian dilakukan istri saya: dia menyuruh anak kami member makan ikan-ikan itu, dan ia sendiri memasak makanan untuk anjing itu.
            Jika demikian, maka perubahan hidup hanya mungkin jika kita melakukan kata yang pertama yakni perubahan.  Pertanyaan lain ialah perubahan bagaimana yang dapat membawa dampak/impact yang signifikan? Dan jawabannya adalah perubahan diri sendiri.  Sayangnya banyak orang selalu bersuara agar orang lain berubah, tetapi ia sendiri enggan untuk berubah.
            Engkau punya impian? Berubah untuk mencapai impianmu.  Bangun dari tidurmu dan wujudkan impianmu.  Kurangi kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan mimpimu, lalu wujudkan impianmu.
            Selamat menjadi orang-orang perebut impian dan mengalami perubahan hidup.

Mimpi yang Menjadi Kenyataan


Oleh: Pdt. Robi Panggarra, M.Th.


 Cerita Yusuf adalah sebuah cerita yang biasa di dalam Alkitab.  Ia adalah anak Yakub.  Namun, ada hal yang membuat hidup Yusuf menjadi tidak biasa.  Itu dimulai dari mimpinya.  Dalam Kitab Kejadian 37:7 dikatakan “ Tampak kita sedang di ladang mengikat berkas-berkas gandum, lalu bangkitlah berkasku dan tegak berdiri; kemudian datanglah berkas-berkas kamu sekalian mengelilingi dan sujud menyembah kepada berkasku itu.”  Mimpi ini membuat kakak Yusuf menjadi marah karena mimpi itu memiliki makna yang buruk terhadap mereka, dimana mereka akan menyembah Yusuf.

Tidak lama setelah peristiwa itu, Yusuf si tukang mimpi bermimpi lagi.  Kejadian 37:9 Aku bermimpi pula: Tampak matahari, bulan dan sebelas bintang sujud menyembah kepadaku."  Jika mimpi yang pertama sudah menimbulkan reaksi yang negatif, terlebih lagi mimpi kedua ini.  Ayahnya berkata: “Mimpi apa mimpimu itu? Masakan aku dan ibumu juga menyembah kepadamu.  Demikian saudara-saudaranya makin benci kepadanya.
Cerita ini berlanjut, dimana karena kebencian Yusuf kemudian dijual oleh saudara-saudaranya kepada pedagang Midian dengan harga 20 syikal perak (ayat 28).  Pedagang itu membawanya ke Mesir lalu dijual lagi kepada Potifar, seorang pegawai istana Firaun, yaitu kepala pengawal raja (ayat 36).
Saudara-saudaranya merasa bahwa Yusuf si tukang mimpi sudah berakhir dan bahwa mimpinya tidak akan menjadi ancaman lagi kepada mereka.  Akan tetapi, dengan dijualnya Yusuf kepada Potifar, maka sebenarnya cerita mimpi itu baru saja dimulai.  Yusuf tinggal di rumah Potifar dan ia berhasil dalam pekerjaannya.  Ia diberi jabatan tinggi oleh Potifar di rumahnya, tetapi istri Potifar memfitnahnya sehingga ia dipenjarakan.
Penjara Mesir seperti telah menelan semua cerita mimpi Yusuf sebelumnya.  Ia adalah orang asing di Mesir, selain itu dia juga sedang dipenjarakan karena tuduhan kasus pemerkosaan istri kepala pengawal raja.  Dia dipenjarakan bersama juru minum dan juru roti raja, tetapi mereka keluar lebih awal seperti mimpi mereka yang diartikan oleh Yusuf.
Dua tahun sesudah  peristiwa itu, raja bermimpi dan mengumpulkan semua orang pintar dan juru mimpi di Mesir untuk mengartikan mimpinya, namun tidak ada yang dapat mengartikan mimpi raja.  Akhirnya juru minum teringat kepada Yusuf yang pernah mengartikan mimpinya, dimana mimpi itu benar-benar terjadi.  Firaun pun menyuruh mengluarkan Yusuf dari penjara untuk mengartikan mimpinya.  Yusuf pun menghadap dan memberitahukan kepada raja apa arti dari mimpi raja tersebut.  Akibatnya Yusuf diangkat menjadi orang kedua setelah Firaun untuk berkuasa di Mesir.
Arti dari mimpi raja pun segera terjadi, dimana terjadi masa kelimpahan Mesir selama 7 tahun sebelum masa kelaparan yang juga akan terjadi selama 7 tahun.  Yusuf mengumpulkan bahan makanan dan menimbunnya untuk persiapan 7 tahun masa kelaparan.  Sesudah masa kelimpahan berlalu dan masa kelaparan benar-benar datang, semua negeri mengalami kelaparan kecuali Mesir.  Orang datang dari berbagai tempat kepada Yusuf untuk membeli gandum.  Ketika Israel mengalami kesulitan karena masa kelaparan itu, mereka mendengar bahwa di Mesir ada gandum yang dijual.  Maka Yakub menyuruh anak-anaknya untuk pergi ke Mesir untuk membeli gandum dari Yusuf.  Anak-anak Yakub sampai di Mesir dan membeli gandum dari Yusuf, namun mereka tidak mengenali Yusuf sebagai adik mereka sendiri yang pernah mereka jual.  Ketika Yusuf melihat mereka, Yusuf mengenali mereka.  Oleh karena itu, Yusuf mencari cara untuk bertanya tentang kabar orang tuanya, sekalipun dia belum memberitahukan siapa dirinya kepada saudara-saudaranya.
Yusuf menyuruh mereka memanggil orang tuanya dan semua saudaranya datang ke Mesir, dan mereka melakukan hal itu demi mendapat gandum untuk makan.  Akhirnya Yakub pergi ke Mesir beserta seluruh keluarganya yang tidak lain adalah keluarga Yusuf juga.  Mereka menghadap Yusuf pemerintah Mesir dengan bersujud, dan inilah jawaban dari 2 mimpi Yusuf yang pernah diceritakannya sampai akhirnya dia dijual oleh saudara-saudaranya karena kebencian.  Mimpi itu telah menjadi kenyataan.  Yusuf tidak tahan untuk terus menutupi identitasnya, maka ia pun membuka kebenaran tentang dirinya yang sebenarnya kepada orang tua dan saudara-saudaranya.
Saudara-saudaranya menjadi takut karena apa yang telah mereka lakukan dulu kepada Yusuf, namun bagi Yusuf sendiri, itulah cara Allah untuk memelihara kehidupan umatnya Israel sehingga tidak punah karena kelaparan.
Ternyata, mimpi Yusuf yang terkesan lucu dan tidak masuk akal itu adalah sebuah cara Allah untuk menyatakan sesuatu peristiwa di masa depan.  Mimpi itu tidak sekedar bunga tidur, melainkan visi dari Allah.  Adakah anda memiliki visi dari Allah, yang mungkin masih merupakan mimpi untuk masa depan anda?  Jika anda yakin itu dari Allah, jangan pernah mengecilkannya, karena Allah tidak pernah gagal dalam melakukan maksud dan rencana-Nya. Amin