Kamis, 27 September 2012

Cara Menyembah


CARA MENYEMBAH
Cara penyembahan segera mengikuti motivasi atau tujuan dari penyembahan itu sendiri.  Ketika tujuannya sudah benar maka cara pengungkapannya pun harus diperhatikan.  Dalam Yohanes 4:20, perempuan Samaria menunjuk kepada 2 cara penyembahan yang diketahuinya, yakni yang pertama adalah cara Samaria di atas gunung Gerizim,[1] dan yang kedua adalah cara Yahudi di Yerusalem.
Menarik perhatian bahwa sekalipun Yesus tidak langsung mengatakan hal yang perempuan Samaria tersebut katakan adalah salah, namun Yesus memberikan cara yang benar-benar berbeda dengan apa yang diketahui oleh perempuan itu.  Yesus berkata: “Percayalah kepada-Ku hai perempuan, saatnya akan tiba bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem” (Yohanes 4:21).  Ayat 23, “Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.
Ronald Allen dan Gordon Borror berkata: “The great need of our day in evangelical churches is for a renewal of worship.[2]  Apa yang Ronald dan Gordon katakan kepada gereja-gereja injili sekarang ini senada dengan apa yang Yesus katakan kepada perempuan Samaria bahwa perlu pembaharuan dalam cara penyembahan yang selama ini diketahuinya.  Cara itu adalah meyembah dalam roh dan kebenaran.  Ada perbedaan yang significant antara cara perempuan Samaria untuk melihat penyembahan yang terfokus pada tempat, dengan jawaban Yesus yang lebih megutamakan esensi dari penyembahan itu sendiri.
Selain ketiga hal yang telah dibahas di atas, ada juga beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam penyembahan yang benar, sesuai dengan apa yang terungkap di dalam percakapan Yesus dengan perempuan Samaria.
Allah yang Disembah
Ketika berbicara tentang menyembah, maka pertanyaan tentang siapa yang disembah merupakan hal mendasar yang perlu dipahami oleh setiap penyembah.  A.W. Tozer berkata, bahwa: “Apabila kita memikirkan sesuatu yang mempunyai asal mula, maka kita bukan sedang memikirkan Allah.”[3]  Apa yang ingin Tozer katakan tidak lain adalah Allah yang sifat-Nya kekal, yakni tidak memiliki awal dan juga tidak memiliki akhir.  Ia tidak tercipta oleh karena sesuatu, melainkan sebaliknya Ia-lah yang menciptakan segala sesuatu.  Hal ini merupakan pemahaman dasar yang harus dipahami oleh setiap orang yang berkata bahwa mereka menyembah Allah.  Karena apabila allah yang disembah oleh mereka lebih merupakan suatu ciptaan, maka itu bukanlah Allah yang sebenarnya.  Tentunya pendapat ini sekaligus mempersalahkan serta melarang segala bentuk penyembahan berhala, yang memuja ciptaan seolah-olah bahwa itu adalah allah sendiri.  Oleh karena itu, A.W. Tozer dalam bukunya Whatever Happened to Worship?, menegaskan bahwa “We must worship only the eternal God[4] atau kita harus menyembah hanya kepada Allah yang kekal.  Jadi, Tozer bersungguh-sungguh melihat The eternal God sebagai pusat dari penyembahan, sehingga tidak ada penyembahan yang benar, jika tidak menjadikan Allah sebagai center-nya.
Selain bahwa Allah itu bersifat kekal, juga perlu diketahui bahwa Allah itu bersifat Roh.  Di dalam ayat 24 Yesus berkata: “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.”  Ayat ini memiliki kaitan erat dengan ayat sebelumnya ketika Yesus berkata “kami menyembah apa yang kami kenal.”  Pemahaman Samaria bahwa Allah hadir di gunung Gerizim atau juga pemahaman Yahudi bahwa Allah hadir di Bait Allah yang terletak di Yerusalem, telah membatasi sedemikian rupa Allah yang sama sekali tidak memiliki keterbatasan.  Dengan mengatakan Allah itu Roh, sebenarnya Yesus sedang menunjukkan sebuah kebenaran yang mendasar tentang pribadi Allah.  Bagaimana mungkin sebagai Roh ia terbatas dalam kehadiran-Nya pada sebuah tempat tertentu.  Sebaliknya sebagai Roh, Ia Mahahadir dan tidak dibatasi oleh apa pun, termasuk tempat, ruang atau waktu.  Ia dapat hadir kapan saja dan di mana saja.
Sifat lain yang menonjol dalam pribadi Allah ialah suci atau kudus.  Allah tidak memiliki nilai toleransi dalam kekudusan-Nya terhadap apa yang disebut dengan dosa.  Ia semata-mata kudus dan akan terus demikian, sehingga dosa tidak mendapat tempat di dalam Dia ataupun kediaman-Nya, sebab hal itu adalah kekejian bagi Dia.  Oleh karena itu, Tozer melihat kata suci atau kudus sebagai kunci dari penyembahan, dengan berkata: ”The key words then and the keynote still of our worship must be holy, holy, holy!”[5] 
Yesus juga mengatakan hal tersebut dengan berkata bahwa “… harus menyembah-Nya dalam kebenaran.”  Sehingga ada hubungan yang nyata antara sifat kekudusan Allah dengan penyembahan yang dilakukan dalam kebenaran.
Manusia yang Menyembah
Di atas telah dijelaskan tentang bagian pertama dari apa yang Yesus ungkapkan dalam Injil Yohanes 4:24.  Jika menyimak kembali ayat tersebut, perkataan “Barangsiapa menyembah-Nya” merupakan bagian kedua yang ditujukan kepada setiap orang atau umat Allah yang menyembah.  Perkataan barangsiapa dalam hal ini menunjuk kepada tidak adanya pengecualian terhadap semua orang.  Perkataan ‘barangsiapa’ sinonim dengan kata ‘siapapun’, oleh karena itu hal ini berlaku secara general kepada semua orang.
Ayat tersebut kemudian dilanjutkan dengan kalimat “Harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.”  Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya di dalam cara penyembahan, hal ini jelas merupakan sebuah ketetapan yang Yesus sendiri tegaskan bagi setiap orang yang melakukan kegiatan penyembahan, bahwa hal tersebut harus dilakukan di dalam roh dan kebenaran.  Hal itu terkait erat dengan sifat-sifat Allah sebagai Roh dan yang Mahakudus, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sebagai penyembahan dalam roh, hal tersebut melibatkan bagian manusia yang paling dalam, namun sekaligus menjadi penggerak dari semua bentuk fisik yang kelihatan.  Menyembah dalam roh (pneuma), menjelaskan kepentingan penyembahan dilakukan dengan melibatkan jiwa atau bagian yang paling dalam dan sentral dari eksistensi manusia.  Pernyataan ini sekaligus menolak pandangan yang mementingkan syarat-syarat yang bersifat lahiriah dalam penyembahan, oleh karena Allah sendiri bukanlah bersifat materi melainkan Roh yang tidak kasat mata.
Selain menyembah dalam roh, penyembahan juga perlu dilakukan dalam kebenaran (Truth).  Dalam bahasa Yunani, kata kebenaran dapat deskripsikan dengan kata “dikaiosune” dan “aletheia.”  Khusus dalam ayat ini, kata yang digunakan untuk menjelaskan “kebenaran” ialah kata “aletheia.”  Kata ini dimaksudkan sebagai “Suatu kenyataan yang berdasarkan kepada suatu penampilan; perwujudan; hal yang benar-benar penting.”[6]  Sehingga dapat dikatakan bahwa menyembah dalam kebenaran berhubungan dengan suatu keadaan di mana seorang penyembah tampil sebagai seorang yang benar, dalam pengertian bahwa ia bertobat akan dosa-dosanya dan meninggalkan perbuatan berdosa sebelum ia melakukan penyembahan; dan dalam keadaan itulah ia menyembah dalam kebenaran.
Alat-Alat Penyembahan
Di dalam percakapan antara Yesus dengan perempuan Samaria, ada juga bagian lain yang penting dan juga perlu diberi perhatian yaitu beberapa hal yang penulis sebut sebagai alat-alat penyembahan.  Mengapa disebut sebagai alat-alat penyembahan?  Oleh karena hal tersebut merupakan sarana-sarana pendukung dalam melakukan kegiatan menyembah atau penyembahan.
Pertama adalah tubuh penyembah.  Sebagai bagian penting dalam penyembahan, maka tubuh penyembah harus memenuhi standar kebenaran Allah.  Oleh karena itu, “Untuk menyembah Allah di dalam roh dan kebenaran, kita harus mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup.”[7]  Paulus berkata dalam Roma 12:1, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” 
Di sini jelas bahwa tubuh yang tidak dipersembahkan kepada Allah akan membuat kegiatan penyembahan seseorang menjadi tidak layak kepada Allah.  Dengan kata lain, tidak mungkin untuk menyembah dan menyenangkan Allah tanpa didahului dengan persembahan tubuh itu sendiri kepada Allah.  Tangan yang bertepuk-tangan atau terangkat kepada Tuhan, kaki yang melompat atau apa saja yang dapat dilakukan oleh tubuh yang belum dipersembahkan kepada Allah tidak hanya ditolak, tetapi juga merupakan kejijikan bagi Allah.  Hal ini dapat dipahami dengan melihat reaksi Allah terhadap penyembahan Israel dalam Yesaya 1:11, “Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak?" firman TUHAN; "Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak lembu gemukan; darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing jantan tidak Kusukai.”  Hal ini dikatakan Allah melalui nabi-Nya sebagai reaksi terhadap Bangsa Israel, oleh karena mereka terus-menerus memberi korban bakaran tetapi hati mereka jauh daripada Allah.  Padahal “God prefers from us obedience over sacrifice.[8]  Sebab itu, Allah ingin menegaskan kepada mereka bahwa bukan sekedar korban sembelihan, tetapi hati yang taat atau tubuh yang dipersembahkan kepada Allah jauh lebih penting dari hal-hal yang lain.
Dalam praktik keagamaan modern, sering terjadi hal yang sama dengan apa yang Israel lakukan dalam dunia Perjanjian Lama, sekalipun bentuknya tidak persis sama, seperti: adanya jemaat yang mengira dapat menitipkan uang persembahan  mereka setiap minggu, tanpa harus menghadiri ibadah Minggu (Dikutip dari khotbah Pdt. Charles Kamasi yang dihadiri oleh penulis).  Dalam kasus ini, korbanlah yang mereka utamakan lalu mengabaikan kehadiran diri mereka sendiri sebagai persembahan yang hidup bagi Tuhan.  Secara tegas firman Tuhan menolak praktik penyembahan seperti itu, dan lebih mengutamakan persembahan hidup dari umat-Nya; sekalipun korban lain yang bersifat materi tidak berarti kemudian diabaikan sama sekali.
Kedua, tempat menyembah.  Apa yang perempuan Samaria sampaikan kepada Yesus dalam Yohanes 4:20 menunjuk kepada tempat yang formal bagi bangsa Samaria dan bagi bangsa Israel untuk menyembah.  Meskipun Yesus memberi sanggahan terhadap apa yang dikemukakan oleh perempuan Samaria tersebut, namun sama sekali tidak menolak adanya tempat yang khusus untuk kegiatan penyembahan.  Ketika Yesus berkata bahwa saatnya akan tiba bahwa penyembah benar akan menyembah dalam roh dan kebenaran, maka Yesus sedang menunjuk kepada hal yang bersifat esensial, untuk menghindari pemahaman ibadah atau penyembahan yang terfokus kepada hal-hal jasmaniah.  Jika membaca Injil Matius 6:5-6, walaupun konteks tersebut berbicara khusus tentang doa, namun ada tekanan dari Yesus untuk menghindari sikap keagamaan orang-orang Farisi yang disebut-Nya munafik, agar melakukan doa atau dalam hal ini penyembahan di tempat yang khusus.  Tentunya hal ini bukan bermaksud untuk mengsakralkan sebuah tempat, namun menghindari motivasi yang ingin menonjolkan kerohanian diri kepada orang lain seperti yang dilakukan oleh orang-orang Farisi.  Selain itu, hal tersebut juga dapat memberi kenyamanan dalam melakukan ibadah, penyembahan atau doa.  Hal ini sejalan dengan  apa yang dikatakan oleh Ronald Allen dan Gordon Borror, bahwa “When we have a specific location for a task we are also more likely to do that task.”[9]  Sehingga dapat dijelaskan bahwa ketersedian tempat merupakan salah satu unsur yang penting, namun ia tidak lebih penting daripada menyembah dalam roh dan kebenaran.
Ketiga, penggunaan alat musik.  Hal ini memang tidak dijelaskan di dalam perikop percakapan Yesus dengan perempuan Samaria di dalam Yohanes 4, akan tetapi jika melihat referensi yang laindalam Alkitab misalnya dalam Kitab Mazmur, atau juga dalam praktik-praktik penyembahan orang Israel dalam Perjanjian Lama, maka hal tersebut juga merupakan hal penting untuk dipahami dalam bagian ini sebagai alat-alat penyembahan.  Tidak dapat disangkali bahwa dalam zaman kemajuan IPTEK sekarang ini, penyebarannya juga telah masuk sampai ke dalam gereja untuk meningkatkan kenyamanan dalam arti mendukung suasana penyembahan yang lebih kondusif.
Seperti dalam Perjanjian Lama, pemakaian alat musik dalam gereja sekarang ini telah mendapat perhatian yang cukup serius.  Meskipun di beberapa gereja tradisional masih ada pro dan kontra untuk penggunaan alat band yang lengkap, namun gerakan yang lebih luas dari penggunaan hal tersebut sangat terasa secara khusus oleh kelompok aliran Pentakosta atau gereja-gereja yang kharismatik.  Di dalam gereja-gereja tersebut, pemakaian alat musik sudah sulit untuk dipisahkan dari kegiatan ibadah atau penyembahan mereka.  Bahkan apabila dalam suatu ibadah, musik tidak dapat digunakan karena alasan tertentu (misalnya: terputusnya aliran listrik), maka akan ada yang terasa kurang dari ibadah tersebut.
Dalam kasus ini penulis setuju dengan Robert Allen dan Gordon Borror, yang melihat nilai seni termasuk penggunaan alat musik merupakan bagian yang penting dari penyembahan, bahkan perlu untuk terus disentuh oleh tangan-tangan yang kreatif ; hanya saja perlu diingat bahwa hal tersebut tidak dapat disamakan dengan penyembahan hati.[10]  Jadi, penyembahan tidak dapat didasarkan hanya kepada perasaan seni yang tinggi semata, meskipun hal itu juga tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Jika demikian, apakah keberadaan musik dalam penyembahan penting atau tidak?  Bagi penulis, hal itu adalah penting bukan saja dari segi seni, tetapi juga karena musik dapat mengekspresikan penyembahan dari hati seseorang yang memainkan alat tersebut.  Yang perlu dihindari dari penggunaan alat band lengkap dalam gereja, ialah ketika hal itu berkembang ke arah penampilan semata, sehingga cenderung untuk memperlihatkan ketrampilan pemain musiknya tetapi mengabaikan ekspresi penyembahannya.  Musik yang dimaksudkan untuk menyembah akan lebih memperhatikan keseimbangan antara pesan lagu dan lirik yang dihasilkannya.  Hal ini penting guna menghindari penyimpangan motivasi pemain musik dari persembahan kepada Allah, menjadi penampilan yang mengharapkan pujian dari jemaat oleh karena penampilan mereka yang bagus.
Bagaimana dengan gereja-gereja yang masih bertahan dengan cara-cara tradisional, yaitu merasa cukup mengunakan piano atau organ dalam ibadah penyembahan mereka?  Karena hal tersebut bukanlah hal yang paling mendasar, maka tentu hal itu tidak dapat disalahkan.  Lagi pula kebiasaan telah membuat mereka merasa lebih nyaman dengan cara tersebut, dan bukan tidak mungkin menggantinya dengan alat band lengkap justru menghadirkan suasana yang asing dan kaku sehingga mengganggu mereka dalam menyembah.


[1] Sadhu Sundar Selvaraj, Seni Menyembah: Menjadi Penyembah Yang Dicari Tuhan (Jakarta: Nafiri Gabriel, 1996), 103.
[2] Ronald Allen and Gordon Borror, Worship: Rediscovering the Missing Jewel (Oregon: Multnomah Press, 1982), 77.
[3] A.W. Tozer, Mengenal Yang Mahakudus (Bandung: Kalam Hidup, 1995), 39.
[4] A.W. Tozer, Whatever Happened to Worship (Pennsylvania: Christian Publications, 1985), 59.
[5] A.W. Tozer, Whatever Happened to Worship (Pennsylvania: Christian Publications, 1985), 72.
[6] Sadhu Sundar Selvaraj, Seni Menyembah: Menjadi Penyembah Yang Dicari Tuhan (Jakarta: Nafiri Gabriel, 1996), 61.
[7] Sadhu Sundar Selvaraj, Seni Menyembah: Menjadi Penyembah Yang Dicari Tuhan (Jakarta: Nafiri Gabriel, 1996), 93.
[8] Ronald Allen and Gordon Borror, Worship: Rediscovering the Missing Jewel (Oregon: Multnomah Press, 1982), 27.
[9] Ronald Allen and Gordon Borror, Worship: Rediscovering the Missing Jewel (Oregon: Multnomah Press, 1982), 47.
[10] Ronald Allen and Gordon Borror, Worship: Rediscovering the Missing Jewel (Oregon: Multnomah Press, 1982), 21-24.

Senin, 02 April 2012

Tujuan Penyembahan


(Oleh: Pdt. Robi Panggarra)
Penyembahan bukanlah sesuatu yang dilakukan tanpa tujuan atau pun arah yang jelas.  Sebagaimana penyembahan diberikan kepada Oknum yang khusus, maka penyembahan itu juga memiliki tujuan yang khusus.  Adanya tujuan khusus dari penyembahan itulah yang menjadikan adanya batasan ataupun aturan-aturan yang dapat membuat sebuah penyembahan berkenan atau tidak berkenan kepada Allah.  Yesus berkata kepada perempuan Samaria dalam Yohanes 4:22, “Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal…”  Di sini terlihat fokus yang jelas dari apa yang Yesus katakan “Mengenal yang disembah”.  Ada tujuan penyembahan yang diberikan kepada Oknum yang dikenal tersebut, oleh karena pengenalan itu membawa kesadaran untuk memberikan sesuatu yang layak kepada yang disembah.
Bertolak dari beberapa definisi pada tulisan saya sebelumnya, maka kegiatan penyembahan tidak lain bertujuan untuk memberi penghormatan kepada Allah, memuliakan Dia, serta memuji dan mengagungkan Dia.  Dengan kata lain, “Penyembahan adalah melayani Tuhan”[1], sehingga dalam menyembah umat Allah perlu datang dengan motivasi untuk memberi dan bukan sebaliknya hanya untuk menerima sesuatu dari Allah.  “Sikap dasar penyembahan bukanlah berkati aku, Tuhan, melainkan aku akan memuji Tuhan.”[2]  Konsep penyembahan yang menuntut kepada Allah seharusnya diganti dengan sikap yang melayani untuk memberi sesuatu yang layak dan terbaik kepada-Nya.  Inilah motivasi yang benar dalam penyembahan dan tidak boleh digantikan dengan motivasi ego untuk memperkaya diri sendiri.



[1] Djohan E. Handojo, The Fire of Praise and Worship: 7 Langkah Menjaga Api Pujian dan Penyembahan Tetap Menyala (Yogyakarta: ANDI, 2007), 80.
[2] Bob Sorge, Mengungkap Segi-Segi Pujian dan Penyembahan: Bimbingan praktis untuk memahami, mendalami serta mempraktikkan pujian dan penyembahan yang hidup di tengah ibadah (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2002), 87.  Bob Sorge sependapat dengan Djohan dalam hal ini, bahwa penyembahan adalah melayani Allah.

Selasa, 27 Maret 2012

Dasar Penyembahan


(Oleh: Pdt. Robi Panggarra, M.Th.)
Menurut John Mac Arthur, “Penyembahan bukanlah masalah pilihan.  Dalam Matius 4:10, ketika Yesus menanggapi pencobaan Iblis, Yesus mengutip Ulangan 6:13, ‘Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!’  Dengan berkata demikian kepada Iblis, Ia memerintahkan kepada setiap makhluk yang telah diciptakan.  Semua bertanggung jawab untuk menyembah Allah.[1]
Dari kutipan di atas terlihat dengan jelas bagaimana penyembahan tidak dapat diabaikan ataupun diremehkan dalam kehidupan setiap umat manusia yang ada di bumi ini.  Hal tersebut merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar.  Iblis dalam hal ini mencoba memberi penawaran yang berbeda kepada Yesus, namun jawaban Yesus yang tegas merupakan informasi yangt cukup bagi setiap makhluk ciptaan bahwa ada perintah untuk menyembah hanya kepada Allah saja.  Perintah inilah yang menjadi dasar dalam penyembahan kepada Allah.
Dasar yang kedua penyembahan kepada Allah ialah bahwa Allah adalah pencipta segala yang ada di dunia ini (Kejadian 1).  Karena Allah menciptakan segala sesuatu, maka segala sesuatu itu memiliki tanggung jawab moral kepada Sang Pencipta, yaitu menyembah.  Rasa syukur yang melimpah mewarnai hati penyembah-penyembah dalam hal ini, oleh karena apa yang Allah telah lakukan dan kerjakan.
Dasar yang ketiga bagi penyembahan adalah penebusan.  Sebagai orang-orang yang telah jatuh ke dalam dosa, hanya penghukuman yang layak untuk diterimanya.  Paulus secara  tegas mengatakan hal itu dalam Roma 6:23a, “Sebab upah dosa adalah maut.”  Namun, karya Allah melalui Yesus Kristus yang datang ke dalam dunia ini untuk mencari dan menyelamatkan yang terhilang telah mengubah ketakutan terhadap ayat tersebut.  Penebusan yang dikerjakan oleh Yesus dengan memberikan nyawa-Nya di atas kayu salib, telah menggantikan maut menjadi kehidupan kekal.  Oleh karena itu, sebagai orang-orang yang telah ditebus oleh Yesus sendiri, maka  ada ikatan baru yang harus disadari yaitu bahwa setiap orang yang telah ditebus menjadi milik dari penebusnya.  Bagian penting dari hal ini adalah bahwa penbusan itu telah menghasilkan umat yang menyembah.[2]


[1] John Mac Arthur, Prioritas Utama Dalam Penyembahan (Bandung: Kalam Hidup, n.d.), 37.
[2] Ibid, 37.